EKRANISASI: Alternatif Studi Sastra Banding
1.
Pengantar
Kajian sastra banding di Indonesia hingga saat ini masih
belum banyak dilakukan. Namun demikian, prinsip kerja sastra banding telah lama
dilakukan yaitu oleh Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin. Saat itu Jassin
melakukan pembelaan terhadap karya Chairil Anwar dan Hamka. Pada saat Chairil
Anwar dan Hamka dituduh plagiat, H.B. Jassin mengungkapkan bahwa mereka
menyadur dan mengadaptasi karya asli. Dalam hal ini, apa yang telah dilakukan
Jassin adalah prinsip kerja perbandingan.
Sastra banding adalah suatu kajian dua karya sastra atau
lebih dari dua negara yang berbeda dan dilakukan secara sistematis (Trisman,
dkk. 2003: 1). Sementara itu, Remak (dalam Damono, 2004: 2) menyatakan, sastra
bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian
hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain
seperti, seni, filsafat, sejarah, dan sains sosial. Endraswara (2003: 128)
tampak mendukung pendapat tersebut dengan mangatakan bahwa sastra bandingan
adalah sebuah studi across cultural yang merupakan upaya interdisipliner dan
pada perkembangan selanjutnya tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain.
Berbeda dengan bidang kajian sastra yang lain, studi sastra
banding tidak memiliki satu bentuk teori yang mutlak. Peneliti bisa menggunakan
teori apa pun dalam melakukan kerja penelitiannya. Seorang peneliti sastra
banding bisa melakukan analisis struktur karya sastra terlebih dahulu baru
kemudian melakukan perbandingan, atau langsung melakukan perbandingan untuk
menemukan persamaan dan perbedaan antarkarya hingga makna karya yang lebih
mendalam bisa ditemukan.
Namun, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
kerja penelitian sastra banding. Beberapa hal tersebut adalah transformasi,
terjemahan, peniruan, dan kecenderungan (Endraswara,2003: 141). Transformasi
adalah pengalihan bentuk, terjemahan adalah pengalihan bahasa, peniruan adalah
proses kreatif pengarang berikutnya, dan kecenderungan adalah kandungan
kemiripan.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Jost (1974: 33) yang
membagi pendekatan dalam sastra banding menjadi empat bidang, yaitu: pengaruh
dan analogi (influence and analogy), gerakan (movement), genre, dan motif. Pada
dasarnya, hal-hal tersebut adalah tujuan kerja penelitian sastra banding, yaitu
menemukan salah satu atau lebih dari keempat hal tersebut sebagai hasil
kerjanya.
Telah disinggung di atas bahwa terdapat dua pengertian sastra
banding. Hingga saat ini, pengertian pertamalah yang lebih banyak dilakukan
oleh para peneliti. Sebagai contoh yang dilakukan Sapardi Djoko Damono (:
89-95) yang membandingkan puisi Gatoloco karya Goenawan Mohamad dengan naskah
kitab Gatoloco. Damono menyimpulkan bahwa Goenawan Mohamad telah meminjam dan
memanfaatkan kitab Gatoloco untuk mengungkapkan posisi manusia modern di
hadapan Sang Pencipta.
Sementara itu, meskipun menggunakan teori semiotika, Puji
Santosa (2003) secara tidak langsung juga melakukan perbandingan dalam
penelitiannya terhadap sajak-sajak Nuh. Santosa melakukan analisis
intertekstual beberapa sajak yang mengangkat tokoh Nuh dan kisah Nuh yang
dibandingkan dengan Al Quran, Alkitab Perjanjian Lama, Cerita-Cerita Alkitab
Perjanjian Lama dan Surat Al Anbiya. Pada akhirnya, Santosa menyimpulkan
sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh dapat disebut kreasi,
varian, dan mosaik dari hipogramnya.
2. Orisinalitas
Keempat hal mendasar yang diungkapkan Endraswara dan Jost
tentang studi sastra banding di atas, mengarahkan studi ini pada pertanyaan
mana bentuk yang asli atau yang lebih dahulu muncul. Namun, pertanyaan itu
tentu tidak terjawab sempurna.
Beberapa bentuk karya sastra yang hampir sama atau mirip
merupakan hal yang biasa dalam dunia sastra. Pengarang memiliki kebebasan
mutlak (dalam batas tertentu) dalam berkarya. Kemiripan satu karya dengan karya
sastra yang lain inilah yang menjadi prinsip dasar kajian intertekstual.
Menurut Riffaterre, satu karya sastra bisa lahir dari karya sebelumnya yang
disebut hipogram (1978: 23). Sebuah karya sastra bisa merupakan variasi dan
modifikasi karya sebelumnya. Menurut Pradopo (2002: 228), prinsip dasar
intertekstual adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam
kaitannya dengan karya yang menjadi hipogramnya.
Teks sastra adalah suatu jaringan yang terbangun dari
berbagai sistem, kode, dan tradisi yang didedahkan oleh teks-teks sastra
sebelumnya. Berbagai sistem, kode, dan tradisi dari teks-teks lain di luar
sastra juga berandil dalam membangun makna sebuah teks (Rofiqi, 2007). Di
sinilah faktor pengaruh menurut Jost berperan. Bukan hanya pengaruh dari dalam
karya tersebut, melainkan juga pengaruh sistem di luar sastra, misalnya sistem
sosial dan kemasyarakatan.
Sebuah karya sastra yang mengandung intertekstualitas adalah
bentuk respons seorang pembaca terhadap karya yang telah dibacanya. Boleh
dikatakan sebuah karya sastra adalah kumpulan karya sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa interteks memiliki hubungan dengan resepsi dan respons.
Kreativitas pengarang sangat berperan dalam prinsip ini.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Jauss (dalam Junus, 1985:
34) yang mengatakan bahwa karya sastra hanya dapat hidup dengan partisipasi
aktif pembacanya. Dengan kata lain, sebuah karya bisa menjadi peristiwa sastra
bila karya itu telah dilihat dalam suatu hubungan dengan karya lain. Hal ini
semakin memperkuat prinsip intertekstual yaitu karya hanya dapat dipahami
maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan karya lain. Jadi, untuk menemukan
apa yang disebut teks asli adalah hal yang hampir tidak mungkin. Namun, dengan
prinsip interteks ini paling tidak bisa ditemukan teks yang mendekati asli.
3. Transformasi Media
Menurut Pradopo, karya sastra diciptakan mengikuti
konvensi-konvensi karya-karya sastra yang ditulis sebelumnya, di samping juga
menyimpangi konvensi sastra yang sudah ada, atau menentang karya sastra sebelumnya,
baik mengenai pikiran yang dikedepankan maupun konvensi estetikanya (2002: 55).
Inilah yang dimaksud dengan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara
konvensi dan pembaruan.
Ditambahkan Teeuw, pelanggaran terhadap konvensi adalah sifat
karya seni yang khas. Bahkan, pada masa tertentu keberhasilan sebuah karya
ditentukan oleh usaha mendobrak dan merombak konvensi sastra. Namun, perombakan
tersebut bukanlah sesuatu yang total dan mutlak karena perombakan total akan
menyebabkan pembaca tidak bisa memahami karya karena modal pemahaman pembaca
adalah sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya. Jadi, karya sastra selalu
berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi (Teeuw, 1980: 5).
Pengalihan sebuah karya sastra ke bentuk atau media lain telah
lama dilakukan. Paling banyak dikenal adalah perubahan bentuk sebuah puisi
menjadi sebuah lagu (musikalisasi puisi). Tentu bukan hal yang asing jika
disinggung puisi-puisi Taufik Ismail yang dilagukan oleh Bimbo, atau novel
Hilman Lupus yang diangkat ke layar perak. Pengalihan atau perubahan bentuk
karya seni tersebut adalah hal yang biasa.
Dalam hal ini, perubahan bentuk (media) karya sastra menjadi
sebuah film menurut Eneste (1991: 11) disebut ekranisasi. Ekranisasi adalah
pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel (karya sastra: pen.)
ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar).
Perubahan bentuk atau media ini tentu tidak bisa menghindari
munculnya perubahan. Cerita, tokoh, alur, latar, dan bahkan tema, bisa
mengalami perubahan dari bentuk asli (karya sastra) dalam bentuk film. Apabila
teks karya sastra berbicara melalui bahasa dan kata-kata, maka film berbicara
menggunakan bentuk visual (gambar).
Karya sastra mengajak pembaca berimajinasi secara bebas
mengikuti cerita. Pembaca bebas memiliki imajinasi tentang gambaran tokoh,
latar, dan suasana dalam cerita. Di samping itu, dalam sebuah karya sastra
tidak jarang pengarang berhasil memancing rasa penasaran pembaca dengan
permainan kata-katanya. Inilah sebabnya kata-kata merupakan hal yang sangat
penting dalam sebuah karya sastra. Seorang pengarang membangun cerita
menggunakan kata-kata.
Berbeda dengan karya sastra, film berbicara menggunakan
gambar. Penulis skenario, menurut Pudovkin (dalam Eneste, 1991: 16), bergulat
dengan plastic material. Penulis skenario harus cermat memilih materi yang bisa
membawa gambaran yang tepat bagi filmnya. Pemilihan materi sebuah rumah mewah
dengan isi perabotan yang juga mewah kiranya telah cukup memberi gambaran
kepada penonton bahwa tokoh yang digambarkan adalah seorang yang kaya.
Penentuan lokasi shooting di pedesaan cukup memberi gambaran mengenai latar
cerita. Inilah yang disebut plastic material.
Satu perbedaan yang mendasar pada proses pembuatannya, karya
sastra adalah sebuah karya individu. Pengarang bergulat dengan dirinya sendiri
untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Kecermatannya menyusun kata-kata pada
akhirnya bisa membawa pembaca pada alam imajinasi. Namun, film adalah sebuah
bentuk karya seni yang melibatkan beberapa orang dari bidang (seni) yang
berbeda.
Terdapat beberapa unsur mendasar dalam film. Setelah skenario
disiapkan penulis, sutradara tidak bisa meninggalkan peran juru kamera, juru
rias, sound effect, penyunting, dan tentu saja aktor. Eneste (1991: 18)
menyebut film sebagai gabungan beberapa ragam kesenian: musik, seni rupa,
drama, sastra ditambah unsur fotografi.Film juga disebutnya sebagai total art,
pan art, atau collective art.
Ekranisasi juga menimbulkan beberapa perubahan pada sebuah
karya sastra. Sebuah novel yang mungkin dibaca dalam beberapa hari bisa
dinikmati dalam waktu yang relatif lebih singkat (durasi rata-rata film 90
menit). Hal ini tentu menyebabkan adanya beberapa pengurangan atau penghilangan
beberapa bagian dari karya aslinya. Contohnya, film Ayat-Ayat Cinta yang
diangkat dari novel dengan judul sama. Terdapat beberapa tokoh yang tidak
ditampilkan dalam filmnya, misalnya Tuan Boutross ayah Maria.
Ekranisasi juga salah satu bentuk interpretasi atau resepsi
pembaca (dalam hal ini penulis skenario). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin
dalam filmnya terdapat penambahan dari karya aslinya. Di samping itu, sutradara
juga bisa memberi interpretasi sendiri terhadap skenario sehingga terjadilah
resepsi atas resepsi. Contohnya, film The Scarlet Letter. Dalam filmnya yang
dibintangi Demi Moore, muncul tokoh Mituba yang tidak ada dalam novelnya. Film
Ayat-Ayat Cinta menampilkan kehidupan poligami tokoh Fahri yang tidak terdapat
dalam novelnya. Ini adalah satu bentuk interpretasi pembaca dalam rangka
melahirkan karya baru.
Perubahan yang bervariasi juga menjadi sebuah kemungkinan
dalam ekranisasi. Contohnya, film William Shakespeares Romeo+Juliet. Perubahan
besar muncul dalam film tersebut. Drama Elizabethan karya Shakespeare
ditampilkan dengan wajah yang berbeda yaitu dengan latar waktu abad 20 dan
latar tempat yang berbeda pula. Romeo tidak lagi berpedang tetapi berpistol dan
tidak lagi berkereta kuda tetapi mengendarai mobil.
Seperti yang diungkapkan Ratna (2003: 176), sebagai
manifestasi struktur sosial, karya sastra selalu dikaitkan dengan gejala-gejala
sosial yang terjadi pada masanya. Artinya, fungsi karya sastra paling sesuai
apabila dikaitkan dengan masa kelahirannya. Meskipun demikian, sebagai
manifestasi struktur imajinatif, dengan kapasitas medium bahasa metaforisnya,
karya sastra tidak hanya berfungsi untuk memahami universum tertentu, melainkan
juga mengacu pada masa lalu dan masa yang akan datang.
Hal senada diungkapkan oleh Segers (2000: 41), sebagai sebuah
proses komunikasi, hubungan antara teks dan pembaca memerankan dua buah fungsi.
Pertama, menandai hubungan skema tekstual. Merupakan tugas pembaca untuk
menyusun ikatan yang hilang tidak sekehendak hati berdasarkan pengalaman dan
harapan miliknya, tetapi berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual.
Kedua, dunia teks literer diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang
berubah-ubah. Juga adalah tugas pembaca untuk menghubungkan perspektif itu agar
cocok dengan struktur tekstual.
Ekranisasi adalah bentuk intertekstual dan resepsi terhadap
sebuah karya. Seorang pembaca yang aktif akan melahirkan sebuah karya baru
sebagai wujud apresiasi terhadap sebuah karya. Perubahan yang muncul merupakan
wujud dari apa yang disebut Jauss sebagai horizon harapan pembaca. Kolker
(2002: 128) menyebutkan bahwa intertekstualitas (dalam film) adalah sebuah
persepsi beberapa teks dengan mempertimbangkan budaya yang berkembang pada saat
itu. Jadi, wajar bila sebuah karya masa lalu muncul kembali dengan wajah masa
kini.
4. Penutup
Studi sastra banding adalah sebuah studi yang tidak bisa
mengesampingkan prinsip-prinsip intertekstualitas dan resepsi. Hal ini karena
studi dan kajian sastra banding selalu tidak jauh dari persoalan orisinalitas
sebuah karya.
Ekranisasi boleh dikatakan adalah salah satu bentuk
interpretasi pembaca yang aktif sehingga melahirkan sebuah karya baru. Berbekal
pengetahuan dan latar sosial budaya tertentu, pembuat film dapat melahirkan
sebuah karya sebagai wujud perombakan terhadap karya sebelumnya.
Oleh karena terdapatnya prinsip-prinsip tersebut, bukan tidak
mungkin sebuah film dikaji dengan pendekatan sastra banding. Hal ini tentu
tidak hanya bertujuan mengungkap persamaan dan perbedaan antara kedua karya.
Namun, lebih jauh untuk mengungkap makna yang lebih mendalam dengan
menghubungkan kedua karya.
Daftar Bacaan
Damono,
Sapardi Djoko. (2004). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Eneste,
Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.
Jauss,
Hans Robert. 1974. Literary History as a Challenge to Literary Theory dalam
Ralph Cohen (ed). New Directions in Literary History. London: Routledge &
Kegan Paul.
Jost,
Francois. 1974. Introduction to Comparative Literature. Indianapolis and New
York: Pegasus.
Junus,
Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Kolker,
Robert Phillip. 2002. Film, Form, and Culture. New York: McGraw-Hill Education.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre,
Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana
University Press.
Santosa,
Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Segers,
Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta:
Adicita.
Teeuw,
A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trisman,
B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra
Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Riffaterre, Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sumber : tegarayama.blogdetik.com
Riffaterre, Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sumber : tegarayama.blogdetik.com
0 komentar:
Posting Komentar