Jumat, 02 November 2012

EKRANISASI: Alternatif Studi Sastra Banding

EKRANISASI: Alternatif Studi Sastra Banding

1.             Pengantar
Kajian sastra banding di Indonesia hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Namun demikian, prinsip kerja sastra banding telah lama dilakukan yaitu oleh Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin. Saat itu Jassin melakukan pembelaan terhadap karya Chairil Anwar dan Hamka. Pada saat Chairil Anwar dan Hamka dituduh plagiat, H.B. Jassin mengungkapkan bahwa mereka menyadur dan mengadaptasi karya asli. Dalam hal ini, apa yang telah dilakukan Jassin adalah prinsip kerja perbandingan.
Sastra banding adalah suatu kajian dua karya sastra atau lebih dari dua negara yang berbeda dan dilakukan secara sistematis (Trisman, dkk. 2003: 1). Sementara itu, Remak (dalam Damono, 2004: 2) menyatakan, sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti, seni, filsafat, sejarah, dan sains sosial. Endraswara (2003: 128) tampak mendukung pendapat tersebut dengan mangatakan bahwa sastra bandingan adalah sebuah studi across cultural yang merupakan upaya interdisipliner dan pada perkembangan selanjutnya tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain.
Berbeda dengan bidang kajian sastra yang lain, studi sastra banding tidak memiliki satu bentuk teori yang mutlak. Peneliti bisa menggunakan teori apa pun dalam melakukan kerja penelitiannya. Seorang peneliti sastra banding bisa melakukan analisis struktur karya sastra terlebih dahulu baru kemudian melakukan perbandingan, atau langsung melakukan perbandingan untuk menemukan persamaan dan perbedaan antarkarya hingga makna karya yang lebih mendalam bisa ditemukan.
Namun, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kerja penelitian sastra banding. Beberapa hal tersebut adalah transformasi, terjemahan, peniruan, dan kecenderungan (Endraswara,2003: 141). Transformasi adalah pengalihan bentuk, terjemahan adalah pengalihan bahasa, peniruan adalah proses kreatif pengarang berikutnya, dan kecenderungan adalah kandungan kemiripan.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Jost (1974: 33) yang membagi pendekatan dalam sastra banding menjadi empat bidang, yaitu: pengaruh dan analogi (influence and analogy), gerakan (movement), genre, dan motif. Pada dasarnya, hal-hal tersebut adalah tujuan kerja penelitian sastra banding, yaitu menemukan salah satu atau lebih dari keempat hal tersebut sebagai hasil kerjanya.
Telah disinggung di atas bahwa terdapat dua pengertian sastra banding. Hingga saat ini, pengertian pertamalah yang lebih banyak dilakukan oleh para peneliti. Sebagai contoh yang dilakukan Sapardi Djoko Damono (: 89-95) yang membandingkan puisi Gatoloco karya Goenawan Mohamad dengan naskah kitab Gatoloco. Damono menyimpulkan bahwa Goenawan Mohamad telah meminjam dan memanfaatkan kitab Gatoloco untuk mengungkapkan posisi manusia modern di hadapan Sang Pencipta.
Sementara itu, meskipun menggunakan teori semiotika, Puji Santosa (2003) secara tidak langsung juga melakukan perbandingan dalam penelitiannya terhadap sajak-sajak Nuh. Santosa melakukan analisis intertekstual beberapa sajak yang mengangkat tokoh Nuh dan kisah Nuh yang dibandingkan dengan Al Quran, Alkitab Perjanjian Lama, Cerita-Cerita Alkitab Perjanjian Lama dan Surat Al Anbiya. Pada akhirnya, Santosa menyimpulkan sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh dapat disebut kreasi, varian, dan mosaik dari hipogramnya.

2.      Orisinalitas
Keempat hal mendasar yang diungkapkan Endraswara dan Jost tentang studi sastra banding di atas, mengarahkan studi ini pada pertanyaan mana bentuk yang asli atau yang lebih dahulu muncul. Namun, pertanyaan itu tentu tidak terjawab sempurna.
Beberapa bentuk karya sastra yang hampir sama atau mirip merupakan hal yang biasa dalam dunia sastra. Pengarang memiliki kebebasan mutlak (dalam batas tertentu) dalam berkarya. Kemiripan satu karya dengan karya sastra yang lain inilah yang menjadi prinsip dasar kajian intertekstual. Menurut Riffaterre, satu karya sastra bisa lahir dari karya sebelumnya yang disebut hipogram (1978: 23). Sebuah karya sastra bisa merupakan variasi dan modifikasi karya sebelumnya. Menurut Pradopo (2002: 228), prinsip dasar intertekstual adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan karya yang menjadi hipogramnya.
Teks sastra adalah suatu jaringan yang terbangun dari berbagai sistem, kode, dan tradisi yang didedahkan oleh teks-teks sastra sebelumnya. Berbagai sistem, kode, dan tradisi dari teks-teks lain di luar sastra juga berandil dalam membangun makna sebuah teks (Rofiqi, 2007). Di sinilah faktor pengaruh menurut Jost berperan. Bukan hanya pengaruh dari dalam karya tersebut, melainkan juga pengaruh sistem di luar sastra, misalnya sistem sosial dan kemasyarakatan.
Sebuah karya sastra yang mengandung intertekstualitas adalah bentuk respons seorang pembaca terhadap karya yang telah dibacanya. Boleh dikatakan sebuah karya sastra adalah kumpulan karya sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa interteks memiliki hubungan dengan resepsi dan respons. Kreativitas pengarang sangat berperan dalam prinsip ini.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Jauss (dalam Junus, 1985: 34) yang mengatakan bahwa karya sastra hanya dapat hidup dengan partisipasi aktif pembacanya. Dengan kata lain, sebuah karya bisa menjadi peristiwa sastra bila karya itu telah dilihat dalam suatu hubungan dengan karya lain. Hal ini semakin memperkuat prinsip intertekstual yaitu karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan karya lain. Jadi, untuk menemukan apa yang disebut teks asli adalah hal yang hampir tidak mungkin. Namun, dengan prinsip interteks ini paling tidak bisa ditemukan teks yang mendekati asli.

3.      Transformasi Media
Menurut Pradopo, karya sastra diciptakan mengikuti konvensi-konvensi karya-karya sastra yang ditulis sebelumnya, di samping juga menyimpangi konvensi sastra yang sudah ada, atau menentang karya sastra sebelumnya, baik mengenai pikiran yang dikedepankan maupun konvensi estetikanya (2002: 55). Inilah yang dimaksud dengan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan pembaruan.
Ditambahkan Teeuw, pelanggaran terhadap konvensi adalah sifat karya seni yang khas. Bahkan, pada masa tertentu keberhasilan sebuah karya ditentukan oleh usaha mendobrak dan merombak konvensi sastra. Namun, perombakan tersebut bukanlah sesuatu yang total dan mutlak karena perombakan total akan menyebabkan pembaca tidak bisa memahami karya karena modal pemahaman pembaca adalah sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya. Jadi, karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi (Teeuw, 1980: 5).
Pengalihan sebuah karya sastra ke bentuk atau media lain telah lama dilakukan. Paling banyak dikenal adalah perubahan bentuk sebuah puisi menjadi sebuah lagu (musikalisasi puisi). Tentu bukan hal yang asing jika disinggung puisi-puisi Taufik Ismail yang dilagukan oleh Bimbo, atau novel Hilman Lupus yang diangkat ke layar perak. Pengalihan atau perubahan bentuk karya seni tersebut adalah hal yang biasa.
Dalam hal ini, perubahan bentuk (media) karya sastra menjadi sebuah film menurut Eneste (1991: 11) disebut ekranisasi. Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel (karya sastra: pen.) ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar).
Perubahan bentuk atau media ini tentu tidak bisa menghindari munculnya perubahan. Cerita, tokoh, alur, latar, dan bahkan tema, bisa mengalami perubahan dari bentuk asli (karya sastra) dalam bentuk film. Apabila teks karya sastra berbicara melalui bahasa dan kata-kata, maka film berbicara menggunakan bentuk visual (gambar).
Karya sastra mengajak pembaca berimajinasi secara bebas mengikuti cerita. Pembaca bebas memiliki imajinasi tentang gambaran tokoh, latar, dan suasana dalam cerita. Di samping itu, dalam sebuah karya sastra tidak jarang pengarang berhasil memancing rasa penasaran pembaca dengan permainan kata-katanya. Inilah sebabnya kata-kata merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Seorang pengarang membangun cerita menggunakan kata-kata.
Berbeda dengan karya sastra, film berbicara menggunakan gambar. Penulis skenario, menurut Pudovkin (dalam Eneste, 1991: 16), bergulat dengan plastic material. Penulis skenario harus cermat memilih materi yang bisa membawa gambaran yang tepat bagi filmnya. Pemilihan materi sebuah rumah mewah dengan isi perabotan yang juga mewah kiranya telah cukup memberi gambaran kepada penonton bahwa tokoh yang digambarkan adalah seorang yang kaya. Penentuan lokasi shooting di pedesaan cukup memberi gambaran mengenai latar cerita. Inilah yang disebut plastic material.
Satu perbedaan yang mendasar pada proses pembuatannya, karya sastra adalah sebuah karya individu. Pengarang bergulat dengan dirinya sendiri untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Kecermatannya menyusun kata-kata pada akhirnya bisa membawa pembaca pada alam imajinasi. Namun, film adalah sebuah bentuk karya seni yang melibatkan beberapa orang dari bidang (seni) yang berbeda.
Terdapat beberapa unsur mendasar dalam film. Setelah skenario disiapkan penulis, sutradara tidak bisa meninggalkan peran juru kamera, juru rias, sound effect, penyunting, dan tentu saja aktor. Eneste (1991: 18) menyebut film sebagai gabungan beberapa ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah unsur fotografi.Film juga disebutnya sebagai total art, pan art, atau collective art.
Ekranisasi juga menimbulkan beberapa perubahan pada sebuah karya sastra. Sebuah novel yang mungkin dibaca dalam beberapa hari bisa dinikmati dalam waktu yang relatif lebih singkat (durasi rata-rata film 90 menit). Hal ini tentu menyebabkan adanya beberapa pengurangan atau penghilangan beberapa bagian dari karya aslinya. Contohnya, film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel dengan judul sama. Terdapat beberapa tokoh yang tidak ditampilkan dalam filmnya, misalnya Tuan Boutross ayah Maria.
Ekranisasi juga salah satu bentuk interpretasi atau resepsi pembaca (dalam hal ini penulis skenario). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dalam filmnya terdapat penambahan dari karya aslinya. Di samping itu, sutradara juga bisa memberi interpretasi sendiri terhadap skenario sehingga terjadilah resepsi atas resepsi. Contohnya, film The Scarlet Letter. Dalam filmnya yang dibintangi Demi Moore, muncul tokoh Mituba yang tidak ada dalam novelnya. Film Ayat-Ayat Cinta menampilkan kehidupan poligami tokoh Fahri yang tidak terdapat dalam novelnya. Ini adalah satu bentuk interpretasi pembaca dalam rangka melahirkan karya baru.
Perubahan yang bervariasi juga menjadi sebuah kemungkinan dalam ekranisasi. Contohnya, film William Shakespeares Romeo+Juliet. Perubahan besar muncul dalam film tersebut. Drama Elizabethan karya Shakespeare ditampilkan dengan wajah yang berbeda yaitu dengan latar waktu abad 20 dan latar tempat yang berbeda pula. Romeo tidak lagi berpedang tetapi berpistol dan tidak lagi berkereta kuda tetapi mengendarai mobil.
Seperti yang diungkapkan Ratna (2003: 176), sebagai manifestasi struktur sosial, karya sastra selalu dikaitkan dengan gejala-gejala sosial yang terjadi pada masanya. Artinya, fungsi karya sastra paling sesuai apabila dikaitkan dengan masa kelahirannya. Meskipun demikian, sebagai manifestasi struktur imajinatif, dengan kapasitas medium bahasa metaforisnya, karya sastra tidak hanya berfungsi untuk memahami universum tertentu, melainkan juga mengacu pada masa lalu dan masa yang akan datang.
Hal senada diungkapkan oleh Segers (2000: 41), sebagai sebuah proses komunikasi, hubungan antara teks dan pembaca memerankan dua buah fungsi. Pertama, menandai hubungan skema tekstual. Merupakan tugas pembaca untuk menyusun ikatan yang hilang tidak sekehendak hati berdasarkan pengalaman dan harapan miliknya, tetapi berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual. Kedua, dunia teks literer diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang berubah-ubah. Juga adalah tugas pembaca untuk menghubungkan perspektif itu agar cocok dengan struktur tekstual.
Ekranisasi adalah bentuk intertekstual dan resepsi terhadap sebuah karya. Seorang pembaca yang aktif akan melahirkan sebuah karya baru sebagai wujud apresiasi terhadap sebuah karya. Perubahan yang muncul merupakan wujud dari apa yang disebut Jauss sebagai horizon harapan pembaca. Kolker (2002: 128) menyebutkan bahwa intertekstualitas (dalam film) adalah sebuah persepsi beberapa teks dengan mempertimbangkan budaya yang berkembang pada saat itu. Jadi, wajar bila sebuah karya masa lalu muncul kembali dengan wajah masa kini.

4.      Penutup
Studi sastra banding adalah sebuah studi yang tidak bisa mengesampingkan prinsip-prinsip intertekstualitas dan resepsi. Hal ini karena studi dan kajian sastra banding selalu tidak jauh dari persoalan orisinalitas sebuah karya.
Ekranisasi boleh dikatakan adalah salah satu bentuk interpretasi pembaca yang aktif sehingga melahirkan sebuah karya baru. Berbekal pengetahuan dan latar sosial budaya tertentu, pembuat film dapat melahirkan sebuah karya sebagai wujud perombakan terhadap karya sebelumnya.
Oleh karena terdapatnya prinsip-prinsip tersebut, bukan tidak mungkin sebuah film dikaji dengan pendekatan sastra banding. Hal ini tentu tidak hanya bertujuan mengungkap persamaan dan perbedaan antara kedua karya. Namun, lebih jauh untuk mengungkap makna yang lebih mendalam dengan menghubungkan kedua karya.

Daftar Bacaan

Damono, Sapardi Djoko. (2004). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.
Jauss, Hans Robert. 1974. Literary History as a Challenge to Literary Theory dalam Ralph Cohen (ed). New Directions in Literary History. London: Routledge & Kegan Paul.
Jost, Francois. 1974. Introduction to Comparative Literature. Indianapolis and New York: Pegasus.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Kolker, Robert Phillip. 2002. Film, Form, and Culture. New York: McGraw-Hill Education.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Riffaterre, Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sumber : tegarayama.blogdetik.com


0 komentar:

Posting Komentar