Minggu, 05 Mei 2013

Tugas Psikolinguistik-Foto Tulisan di SMP Negeri 1 Kebakkramat

 
Nama                                  : Rosita Praptiwi
NIM                                   : A310 100 084
Kelas                                  : VI B

Identitas Sekolah
Nama Sekolah                   : SMP Negeri 1 Kebakkramat
Alamat                               : Jalan Solo-Sragen Km.11, Kebakkramat, Karanganyar.
Tanggal Pengambilan       : Minggu, 5 Mei 2013
Pukul                                 : 14.05 WIB
 
Berdasarkan foto tersebut dapat dianalisis bahwa pada tulisan HARAP TENANG ADA UJIAN bermakna himbauan kepada siswa/i, guru, dan warga yang bermukim disekitar SMPN 1 Kebakkramat bahwa pada hari itu sedang berlangsung ujian bagi siswa/i SMPN 1 Kebakkramat kelas IX dan diharap agar menjaga ketenangannya agar para siswa/i bisa mengerjakan ujian. 
Tulisan SUKSES-PERSIAPAN-PELAKSANAAN-HASIL yang terdapat dibawah tulisan HARAP TENANG ADA UJIAN merupakan 4 kata yang berarti alur dalam menghadapi ujian. Empat kata tersebut juga dapat berarti sebagai semangat agar para siswa/i siap dalam menghadapi ujian. Empat kata tersebut mempunyai arti, yaitu. 
1. Sukses          : para siswa/i diharapkan menanamkan sikap positif sukses dalam diri masing-masing agar dapat mengerjakan soal ujian.
2. Persiapan      : dalam menghadapi ujian juga diperlukan persiapan, baik persiapan fisik (:kesehatan dan belajar) maupun persiapan batin (:berdoa).
3. Pelaksanaan  : pelaksanaan merupakan hari dimana para siswa/i melaksanaan ujian, baik Ujian Nasional maupun Ujian Akhir Sekolah.
4. Hasil             : tahap yang terakhir yakni hasil. Hasil merupakan buah dari kerja keras yang telah dilakukan dalam menghadapi ujian. Apapun hasil yang didapat, diharapkan para siswa/i dapat menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada.
»»  Bacas Selengkapnya...

Jumat, 02 November 2012

Definisi Sastra Bandingan

Definisi Sastra Bandingan
Sastra Bandingan

1.             Definisi

Dalam kamus Webster dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra yang lain.
Rene Wellek dan Austin Warren mendefinisikan tiga pengertian dari sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya, disini istilah sastra bandingan dipakai untuk studi sastra lisan. Terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam penulisan sastra yang lebih artistik. Sastra lisan pada dasarnya merupakan bagian integral dari sastra tulis.
Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, diantaranya soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyuran karya besar, atau dengan kata lain istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Pendekatan ini dipelopori ilmuwan Perancis, yang disebut comparatistes, digagas oleh Ferdinand Baldensperger, yang diulas yaitu soal reputasi, pengaruh, dan ketenaran Goethe di Perancis dan Inggris.
Aspek yang dipelajari antara lain:
  (a)   citra dan konsep pengarang dan pada waktu tertentu,
  (b)   faktor penerjemahan,
  (c)    faktor penerimaan (receiving factor),
  (d)   suasana dan situasi sastra pada masa tertentu.

Dan yang Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal. Istilah sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Istilah sastra dunia menyiratkan bahwa yang dipelajari adalah sastra lima benua, mulai dari Selandia Baru sampai Islandia. Sastra umum mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Konsepsi sastra universal melihat bahwa sastra tetap perlu dilihat sebagai suatu totalitas.

Sedangkan, Remak mengungkapkan bahwa “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain”, dengan kata lain sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, bahwa perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.

Lain halnya dengan Maman S. Mahayana, menurutnya Membandingkan dua karya sastra atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, termasuk wilayah kajian sastra bandingan. Karya sastra yang dibandingkan, setidaknya mempunyai tiga perbedaan, mencakup: (a) Bahasa, (b) Wilayah, (c) Idiologi/politik. Dengan melihat perbedaan antara dua karya sastra sebagai bahan perbandingan akan memungkinkan munculnya “perbedaan latar belakang sosial budaya”. Latar sosial budaya, seperti lokasi, tradisi, dan pengaruh       melingkupi diri masing-masing pengarang. Kondisi tersebut akan tercermin dalam karya yang dihasilkan. (1)

Sehingga, pengertian sastra bandingan jika ingin disimpulkan secara sederhana yaitu perbandingan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lainnya. Terlepas apakah karya sastra yang diperbandingkan itu sastra dunia, sastra umum dan sastra universal dengan tujuan untuk mencari perbedaan, persamaan atau kesatuan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lainnya.

2.             Sekilas Sejarah Sastra Bandingan
Istilah sastra bandingan kali pertama muncul di negara Inggris yang dipelopori oleh para pemikir Perancis seperti Fernand Baldensperger, Jean-Marie Carre’, Paul van Tieghem, dan Marius-Francois Guyard. Mereka ini dalam ilmu sastra bandingan akhirnya lebih dikenal sebagai pelopor aliran Perancis atau aliran lama (Hutomo, 1993: 1). Pada perkembangan selanjutnya, sastra bandingan ini juga berkembang di Amerika, mengembangkan konsep-konsep sastra bandingan aliran Perancis, sehingga sastra bandingan aliran Amerika ini disebut sebagai aliran baru (Hutomo, 1993: 1).
Aliran Perancis sebagai aliran lama berpendapat bahwa sastra bandingan adalah pembandingan sastra secara sistematik dari dua negara yang berlainan (Hutomo, 1993: 1). Sedangkan aliran Amerika berpandangan lebih luas. Aliran Amerika tidak hanya membandingkan dua karya sastra dari dua negara yang berlainan, tetapi juga membandingkan sastra dengan bidang ilmu atau seni tertentu (Hutomo, 1993: 3). Oleh aliran Perancis hal tersebut tidak disetujui. Namun dalam praktiknya ternyata aliran Perancis juga melaksanakan konsep aliran Amerika (Hutomo, 1993: 4). (2)
Aliran Prancis menurut Clements dikatakan sebagai aliran yang hanya membandingkan hanya unsur intrinsik dua buah karya sastra atau lebih yang segenre. Sedangkan aliran Amerika menurut Remark juga merupakan aliran yang membandingkan dua buah karya sastra atau lebih yang segenre. Hanya saja bidang yang dibandingkan tidak hanya unsur intrinsik karya sastra tersebut, tetapi dikaitkan juga dengan bidang ilmu yang lain seperti filsafat, sosiologi, politik, agama, budaya, dan sebagainya. (3)

3.             Objek kajian Sastra Bandingan
Objek kajian Sastra Bandingan menurut Suripan Sadi Hutomo (1990: 9-11) adalah sebagai berikut:
1.          Membandingkan dua karya sastra dari dua Negara yang bahasanya benar-benar berbeda.
2.          Membandingkan dari dua Negara yang berbeda dalam bahasa yang sama. Dalam situasi yang benar-benar sama atau dalam dialek yang berbeda Misalnya: novel “Salina” karya  A. Samad Said (Malaysia) dengan novel “Puncak Pertama” karya Muslim Burmat (Brunei).
3.          Membandingkan karya awal seorang pengarang di Negara asalnya dengan karya setelah berpindah kewarganegaraannya. Misalnya: NH Dini, Hati yang Damai (sewaktu WNI) dengan Pada Sebuah Kapal (WN Perancis).
4.          Membandingkan karya seorang pengarang yang telah menjadi warga suatu Negara tertentu dengan karya seorang pengarang dari Negara lain.
5.          Membandingkan karya seorang pengarang Indonesia dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Misalnya, Ajip Rosidi (Sunda --- Indonesia).
6.          Membandingkan dua karya sastra dari dua orang pengarang berwarga Negara Indonesia yang menulis dalam bahasa asing yang berbeda.
7.          Membandingkan karya sastra seorang pengarang yang berwarga Negara asing di suatu Negara dengan karya pengarang dari Negara yang ditinggalinya (kedua karya sastra ini ditulis dalam bahasa yang sama). (2)

4.             Praktik Sastra Bandingan
Pada umumnya jika kita melihat praktik sastra bandingan baik di negara Timur maupun di negara Barat, studi sastra bandingan menurut Hutomo (1993: 11-12) melandaskan diri pada 3 hal yaitu:
1.               Afinitas, yaitu keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalaman) karya sastra, misalnya unsur struktur, gaya, tema, mood (suasana yang terkandung dalam karya sastra) dan lain-lain, yang dijadikan bahan penulisan karya sastra.
2.               Tradisi, yaitu unsure yang berkaitan dengan kesejarahan penciptaan karya sastra.
3.               Pengaruh. (2)



5.             Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan
Istilah pengaruh tidak sama dengan istilah menjiplak dan plagiat. Untuk melaksanakan studi pengaruh, barangkali, ada baiknya jika kita menyempatkan diri memahami teori intertekstualitas.
A.          Teori Intertekstualitas
Menurut Julia Kristeva (dalam Hutomo, 1993: 13-14), teori intertekstualitas mempunyai kaidah dan prinsip sebagai berikut:
1.          Pada hakikatnya sebuah teks itu mengandung berbagai teks.
2.          Studi intertekstualitas itu adalah menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik teks.
3.          Studi intertekstualitas itu mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat.
4.          Dalam kaitan dengan proses kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks itu sebenarnya merupakan hasil yang diperoleh dari teks-teks lain.
5.          Dalam kaitan studi intertekstualitas, pengertian teks (sastra) janganlah ditafsirkan terbatas pada bahan sastra, tetapi harus mencakup seluruh unsur teks, termasuk bahasa.

B.           Hipogram
Hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dll) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya) (Hutomo, 1993:14). Jika menggunakan teori interteks harus memahami makna hipogram. Menurut Rifaterre (dalam Hutomo, 1993: 14) hipogram dapat berupa:
1.      Ekspansi, yakni perluasan atau pengembangan hipogram.
2.      Konversi, yakni berupa pemutarbalikan hipogram.
3.      Modifikasi, yakni manipulasi kata dan kalimat atau manipulasi tokoh dan plot cerita.
4.      Ekserp , yakni intisari dari hipogram. (2)

Daftar Pustaka
(1)        MASALAH DALAM PRAKTIK STUDI SASTRA BANDINGAN » MAHAYANA-MAHADEWA.COM.htm
(2)        Jendela sastra: media sastra indonesia/sejarah-dan-teori-sastra-bandingan.htm
(3)        keranjang « Manusiabatu’s Blog.htm

»»  Bacas Selengkapnya...

Perkembangan Sastra di Indonesia


Perkembangan Sastra di Indonesia
Oleh : awan sundiawan

Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.
Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.
Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.
Karena genre sastra terdiri dari tiga bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama dalam lingkup sastra Indonesia.
Perkembangan Puisi
Dilihat dari segi kewaktuan, puisi Indonesia dibedakan menjadi puisi lama dan puisi modern. Puisi lama Indonesia umumnya berbentuk pantun atau syair. Dan bersifat anonim karena tidak disebutkan siapa pengarangnya. Puisi lama menjadi milik masyarakat.
Puisi modern, atau puisi baru, berkembang sejak bangsa Indonesia mengenal pendidikan formal. Maka puisi modern Indonesia mulai muncul tahun 1920-an karena pada tahun itulah bangsa terdidik Indonesia mulai muncul. Sejak itu puisi baru Indonesia terus berkembang. Sejarah perpuisian Indonesia mencatat beberapa penyair berikut:



I.                   Angkatan Balai Pustaka-Angkatan ‘66
Angkatan
Balai Pustaka
Punagga Baru
‘45
‘66
1. Muhammad Yamin
2. Roestam Effendi
3. Sanusi Pane.
1. Amir Hamzah
2. J.E. Tatengkeng
3. Sutan Takdir Alisjahbana
1. Chairil Anwar
2. Sitor Situmorang
3. Asrul Sani
4. Harijadi S. Hartowardijo
1. Rendra
2. Ramadhan K.H.
3. Toto Sudarto bachtiar
4. Sapardi Djoko Damono
5. Subagio Sastrowardojo
6. Ajip Rosidi
7. Kirdjomulyo
8. Taufik Ismail
9. Goenawan Mohamad
10. Masur Samin
11. Hartijo Andangdjaja
12. Piek Ardijanto Suprijadi
13. Slamet Sukirnanto
14. Toeti Heraty
15. Abdul Hadi W.M.
16. Darmanto Jatman

II.                Angkatan ’70-an sampai sekarang
Angkatan
’70-an
’90-an
‘2000-an
1. Sutardji Calzoum Bachri
2. Yudhistira Ardinugraha
3. Linus Suryadi A.G.
4. Leon Agusta
5. Hamid Jabar
6. Eka Budijanta
7. F. Rahardi
8. Emha Ainun Nadjib
9. Djawawi Imron
1. Sides Sudyarto D.S.
2. Rahim Qahhar
3. Arwan Tuti Arta
4. Gunoto saparie
5. Rusli Marzuki Saria
6. Husni Jamaluddin
7. Ibrahim Sattah
8. Agus Sarjono
9. Cecep Syamsul Hari
10. Soni Farid Maulana
11. Acep Zam-zam Nur
12. Joko Pinurbo
13. dll
1. Nenden Lilis Aisyah
2. Mohamad Wan Anwar
3. Jamal D. Rahman
4. dll.

Penyebutan nama-nama di atas tentu saja masih belum lengkap karena penyair-penyair Indonesia yang tersebar di berbagai daerah masih banyak. Boleh jadi jumlahnya sampai ratusan, bahkan ribuan. Yang tercatat di atas hanyalah penyair-penyair yang secara intens kerap muncul di media massa dengan karya-karyanya, baik karya berbentuk puisi itu sendiri maupun esai-esainya. Dan oleh pengamat sastra (kritikus) dicatat namanya sebagai penyair yang karyanya layak disebut puisi-puisi yang bermutu.
Kita kutip karya-karya mereka berikut ini. Tentu saja tidak semua karya mereka tercatat di sini karena akan menghabiskan berlembar-lembar kertas, atau bahkan berjilid-jilid buku. Yang dicatat berikut ini adalah nama yang paling terkenal dan emwakili zamannya.

Muhammad Yamin
Lahir di Sawah Lunto 23 Agustus 1903
Bahasa, Bangsa
Selagi kecil berusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda,
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Buai sayang malam dan siang,
Buian tergantung di tanah moyang.
Terlahir bangsa berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah melayu
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya
Bernafas kita pemanjangklan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatra, di situ bangsa
Di mana Perca di sana bahasa
Andalasku sayang, jana bejana
Sejakkan kecil muda teruma
Sampai mati berkalang tanag
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra hilang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang
Amir Hamzah
Disebut-sebut sebagai Raja Penyair Pujangga Baru,
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kemvbali aku padaMu
Seperti dahulu
Engkaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila saar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan diliranku
Mati hari bukan kawanku
Chairil Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943

Willibrordus Surendra (W.S. Rendra)
Episode
Kami duduk berdua
Di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman iti
Berbuah dengan lebatnya
Dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
Memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia berkata:
“Mengapa kancingbajumu lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
Sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
Aku bersihkan guguran bunga jambu
Yang mengotori rambutnya

Taufiq Ismail
Dengan Puisi, Aku
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.

Sutardji Calzoum Bachri
Tapi
Aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
Aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
Aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang Cuma
Aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
Aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
Aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
Aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
Tanpa apa aku datang padamu
wah!

Acep Zamzam Noor
Cipasung
Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi semankin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Canghkulku iman dan sajadahku lupur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu
Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Bagi pagar-pagar bamboo yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu
Hari esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaanmu yang lain
Atas sajadah Lumpur aku terseungkur dan berkubur

Nenden Lilis Aisyah
Negeri Sihir
Angin surut dan cahaya beringsut
Waktu seakan turun menemui kegaiban
Kerisik senyap, segala sunyi
Bertabuh di kegelapan
Negeri tempatku hidup telah jadi mimpi
Alangkah jauh, bagai bayang-bayang
Aku entah berjejak di mana
Tak juga pergi bersama suara-suara

Inilah ketiadaan, ruang kekal kekosongan
Tempat segalanya menghilang

Perkembangan Prosa
Seiring dengan perkembangan puisi, prosa Indonesia pun berkembang pula. Seperti puisi, prosa pun mengenal prosa lama dan prosa baru atau prosa modern. Prosa lama bersifat anonim; dengan penjenisannya meliputi dongeng, hikayat, fabel, sage. Sedangkan prosa baru, dengan diukur dari panjang pendeknya, meliputi cerpen, novelet, dan novel/roman.
Prosa Indonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli. Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdulLayar Terkembang. Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.
Tahun 1945 perlu dicatat nama Idrus sebagai prosaic cerpen. Buku kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma menjadi buku yang cukup terkenal. Selain itu juga novel singkat yang digarap dengan nada humor berjudulAki.
Tahun 1949 muncul novel karya Achdiat Karta Miharja berjudul Atheis. Atheis termasuk novel yang cukup berhasil karena hamir semua unsurnya menonjol dan menarik unuk dibaca. Dengan mengambil latar Pasundan berhasil mengangkat sebuah tema terkikisnya sebuah kepercayaan keagamaan. Hasan, tokoh utama dalam novel ini, adalah orang yang 180 derajat berbalik dari taat beragama tiba-tiba menjadi seorang yang atheis karena pengaruh pergaulannya dengan Rusli dan Anwar yang memang berpaham komunis.
Tahun 1955 muncul cerpen yang sangat terkenal, berjudul Robohnya Surau Kami, buah karya Ali Akbar Navis (lebih dikenal dengan A.A. Navis). Cerpen ini sarat dengan kritik sosial menyangkut kesalahan orang dalam menganut agama. Navis nambapknya ingin mendobrak paham keagamaan masyarakat Indonesia yang mengira beribadah hanyalah sekedar melaksanakan shalat, puasa, atau mengaji Quran; sedangkan kegiatan lain di luar ibdah formal, sepertimencari nafkah, peduli pada sesama dan alam dibaikan. Lewat tokoh Haji Shaleh yang tiba-tiba masuk neraka karena ulahnya di dunia yang mengabaikan kepentingan keluarga.
Tahun 1968 muncul novel berjudul Merahnya Merah, garapan Iwan Simatupang, sebuah novel yang cukup absurd, terutama dalam hal gaya bercerita. Namun demikian, novel ini banyak memperoleh pujian dan sorotan para kritikus sastra, baik dalam maupun luar negeri.
Tahun 1975 nuncul novel Harimau! Harimau!, buah karya Mochtar Lubis, menceritakan tentang tujuh orang pencari damar yang berada di tengah sutan selama seminggu. Mereka adalah Pak Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Buyung, Sanip dan Pak Balam. Di tengah hutan itu mereka berhadapan dengan seekor harimau yang tengah mencari mangsa. Empat orang di antara tujuh orang itu (Pak Balam, Sutan, Talib, dan Pak Haji). Kecuali Pak Haji yang meinggal karena tertembak senapan Wak Katok, tiga yang lalinnya meninggal karena diterkam Harimau.
Haimau! Harimau! Sarat dengan pesan moral, yaitu bahwa setiap manusia harus mengakui dosanya agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan. Pak Balam, orang yang pertama terluka karena diterkam harimau, mengakkui dosa-dosanya di masa muda, dan menyuruh para pendamar yang lain juga mengakui dosa-dosanya. Semua memang mengakui, hanya Wak Katok yang enggan mengakuinya.
Tahun 1982, muncul novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang berhasil mendeskripsikan adat orang Jawa, khususnya Cilacap.
Tahun 1990, Ramadhan K.H. menulis novel berjudul Ladang Perminus, sebuah novel yang mengisahkan tentang korupsi di tubuh Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Novel ini seolah-olah menelanjangi tindakan korupsi di tubuh Pertamina, sebagai perusahaan pertambanyak minyak nasional.
Dan novel paling mutakhir adalah Saman, 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap kurang sopan untuk diungkap. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah sesks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.
Dan untuk tahun 2000-an ini, tepatnya tahun 2003 yang baru silam, telah terbit novel termuda, dari penulis termuda pula yang menulis novel berjudul Area X, sebuah novel futurisktik tentang Indonesia tahun 2048, mengenai deribonucleic acid dan makhlluk ruang angkasa. Novel ini ditulis oleh Eliza Vitri Handayani, seorang siswi kelas 2 SMA Nusantara Magelang, sebuah SMA favorit di Indonesia.
Begitulah perkembangan genre sastra prosa di Indonesia.
Perkembangan Drama
Perkembangan drama di Indonesia tak sesemarak dan setua perkembangan puisi dan prosa. Kalau puisi dan prosa mengenal puisi lama dan porsa lama, tak demikianlah dengan drama. Genre sastra drama di Indonesia benar-benar baru, seiring dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, muncul pada tahun 1900-an.
Sastra drama di Indonesia ditulis pada awal abad 19, tepatnya tahun 1901, oleh seorang peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Untuk selanjutnya bermunculanlah naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para pengarang peranakan Belanda dan atau Tionghoa.
Selanjutnya, anak Indonesia sendiri yang mulai menulis drama. Berikut ini Anda akan disuguhi beberapa dramawan Indonesia dari mulai Rustam Effendi (lahir 1903) sampai dengan Hamdy Salad (lahir 1961).
Tahun Kelahiran Pengarang
Pengarang
Judul
1903
1905
1906
1916
1918
1920
1921
1926
1928
1933
1934
1935
1937
1938
1938
1941
1942
1943
1944
1945
1946
1949
1955
1959
1961
Rustam Effendi
Sanusi Pane
Abu Hanifah
Trisno Sumarjo
D. Jayakusuma
Utuy Tatang Sontani
Usmar Ismail
Asrul Sani
Mohammad Diponegoro
Misbach Yusa Biran
D. Sularto
Rahman Age
Motinggo Busye
Ajip Rosidi
Saini KM
Arifin C. Noer
Vredi Kasram Marta
Aspar Paturusi
Putu Wijaya
Wisran Hadi
Akhudiat
N. Riantiarno
Yono Daryono
Arthur S. Nalan
Hamdy Salad

Bebasari
Kertajaya
Taufan di Atas Asia
Tumbang
Rama Bargawa
Bunga Rumah Makan
Leburan Seniman
Mahkamah
Iblis
Bung Besar
Domba-domba Revolusi
Pembenci Matahari
Malam Jahanam
Masyitoh
Egon
Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi
Syeh Siti Jenar
Perahu Nuh II
Dam
Cindua Mato
Jaka Tarub
Sampek Engtay
Ronggeng-ronggeng
Syair Ikan Tongkol
Perempuan dalam Kereta



Terima kasih kepada Bapak Drs. Dodo Suwondo yang selalu berdiskusi dengan saya mengenai bahasa dan sastra Indonesia.



»»  Bacas Selengkapnya...

EKRANISASI: Alternatif Studi Sastra Banding

EKRANISASI: Alternatif Studi Sastra Banding

1.             Pengantar
Kajian sastra banding di Indonesia hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Namun demikian, prinsip kerja sastra banding telah lama dilakukan yaitu oleh Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin. Saat itu Jassin melakukan pembelaan terhadap karya Chairil Anwar dan Hamka. Pada saat Chairil Anwar dan Hamka dituduh plagiat, H.B. Jassin mengungkapkan bahwa mereka menyadur dan mengadaptasi karya asli. Dalam hal ini, apa yang telah dilakukan Jassin adalah prinsip kerja perbandingan.
Sastra banding adalah suatu kajian dua karya sastra atau lebih dari dua negara yang berbeda dan dilakukan secara sistematis (Trisman, dkk. 2003: 1). Sementara itu, Remak (dalam Damono, 2004: 2) menyatakan, sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti, seni, filsafat, sejarah, dan sains sosial. Endraswara (2003: 128) tampak mendukung pendapat tersebut dengan mangatakan bahwa sastra bandingan adalah sebuah studi across cultural yang merupakan upaya interdisipliner dan pada perkembangan selanjutnya tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain.
Berbeda dengan bidang kajian sastra yang lain, studi sastra banding tidak memiliki satu bentuk teori yang mutlak. Peneliti bisa menggunakan teori apa pun dalam melakukan kerja penelitiannya. Seorang peneliti sastra banding bisa melakukan analisis struktur karya sastra terlebih dahulu baru kemudian melakukan perbandingan, atau langsung melakukan perbandingan untuk menemukan persamaan dan perbedaan antarkarya hingga makna karya yang lebih mendalam bisa ditemukan.
Namun, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kerja penelitian sastra banding. Beberapa hal tersebut adalah transformasi, terjemahan, peniruan, dan kecenderungan (Endraswara,2003: 141). Transformasi adalah pengalihan bentuk, terjemahan adalah pengalihan bahasa, peniruan adalah proses kreatif pengarang berikutnya, dan kecenderungan adalah kandungan kemiripan.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Jost (1974: 33) yang membagi pendekatan dalam sastra banding menjadi empat bidang, yaitu: pengaruh dan analogi (influence and analogy), gerakan (movement), genre, dan motif. Pada dasarnya, hal-hal tersebut adalah tujuan kerja penelitian sastra banding, yaitu menemukan salah satu atau lebih dari keempat hal tersebut sebagai hasil kerjanya.
Telah disinggung di atas bahwa terdapat dua pengertian sastra banding. Hingga saat ini, pengertian pertamalah yang lebih banyak dilakukan oleh para peneliti. Sebagai contoh yang dilakukan Sapardi Djoko Damono (: 89-95) yang membandingkan puisi Gatoloco karya Goenawan Mohamad dengan naskah kitab Gatoloco. Damono menyimpulkan bahwa Goenawan Mohamad telah meminjam dan memanfaatkan kitab Gatoloco untuk mengungkapkan posisi manusia modern di hadapan Sang Pencipta.
Sementara itu, meskipun menggunakan teori semiotika, Puji Santosa (2003) secara tidak langsung juga melakukan perbandingan dalam penelitiannya terhadap sajak-sajak Nuh. Santosa melakukan analisis intertekstual beberapa sajak yang mengangkat tokoh Nuh dan kisah Nuh yang dibandingkan dengan Al Quran, Alkitab Perjanjian Lama, Cerita-Cerita Alkitab Perjanjian Lama dan Surat Al Anbiya. Pada akhirnya, Santosa menyimpulkan sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh dapat disebut kreasi, varian, dan mosaik dari hipogramnya.

2.      Orisinalitas
Keempat hal mendasar yang diungkapkan Endraswara dan Jost tentang studi sastra banding di atas, mengarahkan studi ini pada pertanyaan mana bentuk yang asli atau yang lebih dahulu muncul. Namun, pertanyaan itu tentu tidak terjawab sempurna.
Beberapa bentuk karya sastra yang hampir sama atau mirip merupakan hal yang biasa dalam dunia sastra. Pengarang memiliki kebebasan mutlak (dalam batas tertentu) dalam berkarya. Kemiripan satu karya dengan karya sastra yang lain inilah yang menjadi prinsip dasar kajian intertekstual. Menurut Riffaterre, satu karya sastra bisa lahir dari karya sebelumnya yang disebut hipogram (1978: 23). Sebuah karya sastra bisa merupakan variasi dan modifikasi karya sebelumnya. Menurut Pradopo (2002: 228), prinsip dasar intertekstual adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan karya yang menjadi hipogramnya.
Teks sastra adalah suatu jaringan yang terbangun dari berbagai sistem, kode, dan tradisi yang didedahkan oleh teks-teks sastra sebelumnya. Berbagai sistem, kode, dan tradisi dari teks-teks lain di luar sastra juga berandil dalam membangun makna sebuah teks (Rofiqi, 2007). Di sinilah faktor pengaruh menurut Jost berperan. Bukan hanya pengaruh dari dalam karya tersebut, melainkan juga pengaruh sistem di luar sastra, misalnya sistem sosial dan kemasyarakatan.
Sebuah karya sastra yang mengandung intertekstualitas adalah bentuk respons seorang pembaca terhadap karya yang telah dibacanya. Boleh dikatakan sebuah karya sastra adalah kumpulan karya sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa interteks memiliki hubungan dengan resepsi dan respons. Kreativitas pengarang sangat berperan dalam prinsip ini.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Jauss (dalam Junus, 1985: 34) yang mengatakan bahwa karya sastra hanya dapat hidup dengan partisipasi aktif pembacanya. Dengan kata lain, sebuah karya bisa menjadi peristiwa sastra bila karya itu telah dilihat dalam suatu hubungan dengan karya lain. Hal ini semakin memperkuat prinsip intertekstual yaitu karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan karya lain. Jadi, untuk menemukan apa yang disebut teks asli adalah hal yang hampir tidak mungkin. Namun, dengan prinsip interteks ini paling tidak bisa ditemukan teks yang mendekati asli.

3.      Transformasi Media
Menurut Pradopo, karya sastra diciptakan mengikuti konvensi-konvensi karya-karya sastra yang ditulis sebelumnya, di samping juga menyimpangi konvensi sastra yang sudah ada, atau menentang karya sastra sebelumnya, baik mengenai pikiran yang dikedepankan maupun konvensi estetikanya (2002: 55). Inilah yang dimaksud dengan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan pembaruan.
Ditambahkan Teeuw, pelanggaran terhadap konvensi adalah sifat karya seni yang khas. Bahkan, pada masa tertentu keberhasilan sebuah karya ditentukan oleh usaha mendobrak dan merombak konvensi sastra. Namun, perombakan tersebut bukanlah sesuatu yang total dan mutlak karena perombakan total akan menyebabkan pembaca tidak bisa memahami karya karena modal pemahaman pembaca adalah sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya. Jadi, karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi (Teeuw, 1980: 5).
Pengalihan sebuah karya sastra ke bentuk atau media lain telah lama dilakukan. Paling banyak dikenal adalah perubahan bentuk sebuah puisi menjadi sebuah lagu (musikalisasi puisi). Tentu bukan hal yang asing jika disinggung puisi-puisi Taufik Ismail yang dilagukan oleh Bimbo, atau novel Hilman Lupus yang diangkat ke layar perak. Pengalihan atau perubahan bentuk karya seni tersebut adalah hal yang biasa.
Dalam hal ini, perubahan bentuk (media) karya sastra menjadi sebuah film menurut Eneste (1991: 11) disebut ekranisasi. Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel (karya sastra: pen.) ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar).
Perubahan bentuk atau media ini tentu tidak bisa menghindari munculnya perubahan. Cerita, tokoh, alur, latar, dan bahkan tema, bisa mengalami perubahan dari bentuk asli (karya sastra) dalam bentuk film. Apabila teks karya sastra berbicara melalui bahasa dan kata-kata, maka film berbicara menggunakan bentuk visual (gambar).
Karya sastra mengajak pembaca berimajinasi secara bebas mengikuti cerita. Pembaca bebas memiliki imajinasi tentang gambaran tokoh, latar, dan suasana dalam cerita. Di samping itu, dalam sebuah karya sastra tidak jarang pengarang berhasil memancing rasa penasaran pembaca dengan permainan kata-katanya. Inilah sebabnya kata-kata merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Seorang pengarang membangun cerita menggunakan kata-kata.
Berbeda dengan karya sastra, film berbicara menggunakan gambar. Penulis skenario, menurut Pudovkin (dalam Eneste, 1991: 16), bergulat dengan plastic material. Penulis skenario harus cermat memilih materi yang bisa membawa gambaran yang tepat bagi filmnya. Pemilihan materi sebuah rumah mewah dengan isi perabotan yang juga mewah kiranya telah cukup memberi gambaran kepada penonton bahwa tokoh yang digambarkan adalah seorang yang kaya. Penentuan lokasi shooting di pedesaan cukup memberi gambaran mengenai latar cerita. Inilah yang disebut plastic material.
Satu perbedaan yang mendasar pada proses pembuatannya, karya sastra adalah sebuah karya individu. Pengarang bergulat dengan dirinya sendiri untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Kecermatannya menyusun kata-kata pada akhirnya bisa membawa pembaca pada alam imajinasi. Namun, film adalah sebuah bentuk karya seni yang melibatkan beberapa orang dari bidang (seni) yang berbeda.
Terdapat beberapa unsur mendasar dalam film. Setelah skenario disiapkan penulis, sutradara tidak bisa meninggalkan peran juru kamera, juru rias, sound effect, penyunting, dan tentu saja aktor. Eneste (1991: 18) menyebut film sebagai gabungan beberapa ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah unsur fotografi.Film juga disebutnya sebagai total art, pan art, atau collective art.
Ekranisasi juga menimbulkan beberapa perubahan pada sebuah karya sastra. Sebuah novel yang mungkin dibaca dalam beberapa hari bisa dinikmati dalam waktu yang relatif lebih singkat (durasi rata-rata film 90 menit). Hal ini tentu menyebabkan adanya beberapa pengurangan atau penghilangan beberapa bagian dari karya aslinya. Contohnya, film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel dengan judul sama. Terdapat beberapa tokoh yang tidak ditampilkan dalam filmnya, misalnya Tuan Boutross ayah Maria.
Ekranisasi juga salah satu bentuk interpretasi atau resepsi pembaca (dalam hal ini penulis skenario). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dalam filmnya terdapat penambahan dari karya aslinya. Di samping itu, sutradara juga bisa memberi interpretasi sendiri terhadap skenario sehingga terjadilah resepsi atas resepsi. Contohnya, film The Scarlet Letter. Dalam filmnya yang dibintangi Demi Moore, muncul tokoh Mituba yang tidak ada dalam novelnya. Film Ayat-Ayat Cinta menampilkan kehidupan poligami tokoh Fahri yang tidak terdapat dalam novelnya. Ini adalah satu bentuk interpretasi pembaca dalam rangka melahirkan karya baru.
Perubahan yang bervariasi juga menjadi sebuah kemungkinan dalam ekranisasi. Contohnya, film William Shakespeares Romeo+Juliet. Perubahan besar muncul dalam film tersebut. Drama Elizabethan karya Shakespeare ditampilkan dengan wajah yang berbeda yaitu dengan latar waktu abad 20 dan latar tempat yang berbeda pula. Romeo tidak lagi berpedang tetapi berpistol dan tidak lagi berkereta kuda tetapi mengendarai mobil.
Seperti yang diungkapkan Ratna (2003: 176), sebagai manifestasi struktur sosial, karya sastra selalu dikaitkan dengan gejala-gejala sosial yang terjadi pada masanya. Artinya, fungsi karya sastra paling sesuai apabila dikaitkan dengan masa kelahirannya. Meskipun demikian, sebagai manifestasi struktur imajinatif, dengan kapasitas medium bahasa metaforisnya, karya sastra tidak hanya berfungsi untuk memahami universum tertentu, melainkan juga mengacu pada masa lalu dan masa yang akan datang.
Hal senada diungkapkan oleh Segers (2000: 41), sebagai sebuah proses komunikasi, hubungan antara teks dan pembaca memerankan dua buah fungsi. Pertama, menandai hubungan skema tekstual. Merupakan tugas pembaca untuk menyusun ikatan yang hilang tidak sekehendak hati berdasarkan pengalaman dan harapan miliknya, tetapi berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual. Kedua, dunia teks literer diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang berubah-ubah. Juga adalah tugas pembaca untuk menghubungkan perspektif itu agar cocok dengan struktur tekstual.
Ekranisasi adalah bentuk intertekstual dan resepsi terhadap sebuah karya. Seorang pembaca yang aktif akan melahirkan sebuah karya baru sebagai wujud apresiasi terhadap sebuah karya. Perubahan yang muncul merupakan wujud dari apa yang disebut Jauss sebagai horizon harapan pembaca. Kolker (2002: 128) menyebutkan bahwa intertekstualitas (dalam film) adalah sebuah persepsi beberapa teks dengan mempertimbangkan budaya yang berkembang pada saat itu. Jadi, wajar bila sebuah karya masa lalu muncul kembali dengan wajah masa kini.

4.      Penutup
Studi sastra banding adalah sebuah studi yang tidak bisa mengesampingkan prinsip-prinsip intertekstualitas dan resepsi. Hal ini karena studi dan kajian sastra banding selalu tidak jauh dari persoalan orisinalitas sebuah karya.
Ekranisasi boleh dikatakan adalah salah satu bentuk interpretasi pembaca yang aktif sehingga melahirkan sebuah karya baru. Berbekal pengetahuan dan latar sosial budaya tertentu, pembuat film dapat melahirkan sebuah karya sebagai wujud perombakan terhadap karya sebelumnya.
Oleh karena terdapatnya prinsip-prinsip tersebut, bukan tidak mungkin sebuah film dikaji dengan pendekatan sastra banding. Hal ini tentu tidak hanya bertujuan mengungkap persamaan dan perbedaan antara kedua karya. Namun, lebih jauh untuk mengungkap makna yang lebih mendalam dengan menghubungkan kedua karya.

Daftar Bacaan

Damono, Sapardi Djoko. (2004). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.
Jauss, Hans Robert. 1974. Literary History as a Challenge to Literary Theory dalam Ralph Cohen (ed). New Directions in Literary History. London: Routledge & Kegan Paul.
Jost, Francois. 1974. Introduction to Comparative Literature. Indianapolis and New York: Pegasus.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Kolker, Robert Phillip. 2002. Film, Form, and Culture. New York: McGraw-Hill Education.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Riffaterre, Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sumber : tegarayama.blogdetik.com


»»  Bacas Selengkapnya...